RUU Konvergensi, Belum Konvergen

RUU Konvergensi Telematika akhirnya dipublikasikan juga. Kemunculannya menjelang akhir tahun mengindikasikan bahwa pembahasan RUU di DPR akan molor. Seharusnya, menurut agenda, tahun ini DPR sudah membahasnya bersama RUU Tindak Pidana TI dan revisi RUU Penyiaran. Tampaknya negara ini belum bisa meninggalkan kebiasaan bermolor-ria-nya.

Merujuk definisi konvergensi dari European Union, OECD, ITU, konvergensi dapat dipandang sebagai perpaduan layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan hingga diperoleh nilai tambah dari layanan tersebut. Selengkapnya baca disini. Artinya bahwa, layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran yang awalnya terpisah dengan regulasi yang terpisah pula akan dipadukan baik dari sisi layanan maupun regulasinya. Dengan demikian, akan ada perpaduan antara UU Telekomunikasi, UU ITE, dan UU Penyiaran. Menyatukan berbagai layanan bahkan regulasinya bukanlah perkara mudah. Meskipun ada panduan yang bisa dirujuk baik dari OECD melalui ICT Regulation Tool Kit-nya maupun ITU, tidak bisa diimplementasikan secara mentah-mentah di Indonesia yang sangat majemuk ini. Setidaknya, itulah gambaran awal saya tentang RUU Konvergensi Telematika ini. Namun, setelah membaca, gambaran saya buyar, bingung, tidak mengerti maksud dan arah roadmap TIK Indonesia. Continue reading

Nomor Awal Telepon Seluler

Nomor telepon, baik yang seluler, tetap (fixed), ataupun yang fixed wireless memiliki aturan khusus berdasarkan rekomendasi ITU. Setiap nomor adalah unik. Artinya tidak ada satu nomor pun yang sama. Tiap negara punya kode unik tersendiri, seperti di kita kodenya  +62 (062), Malaysia 060, UK 044, Australia 061, dsb. Oya, kalau mau lihat code akses negara bisa ke www.countrycodes.com/call.php .

Regulasi tentang penomoran ini sendiri diatur di KepMenHub No. 4 Tahun 2001 Tentang Rencana Dasar Teknis (Penomoran dan Routing). Masih belum tahu, ada tidak revisi tentang regulasi ini karena masih dibawah naungan Menteri Perhubungan, bukan Menteri Komunikasi dan Informatika meski yang mengeluarkan Ditjen Postel. Karena jasa layanan teleponi disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi, mereka juga diatur dengan penomoran khusus. Meski masih dalam satu provider, nomor awal sering berbeda tergantung jenis produk yang digunakan. Seperti Telkomsel punya produk Simpati, Kartu Halo, As, As Free. Nomor awalnya beda-beda.

Dibawah bisa dilihat nomor awal telepon seluler, nama produk, dan penyelenggaranya.

Nomor Awal

Produk

Penyedia

811 KartuHALO Telkomsel
812 SimPATI,KartuHALO Telkomsel
813 SimPATI,KartuHALO Telkomsel
814 Indosat 3,5G Broadband Indosat
815 Mentari, Matrix Indosat
816 Mentari, Matrix Indosat
817 XL Prabayar, XL Pascabayar XL
818 XL Prabayar, XL Pascabayar XL
819 XL Prabayar, XL Pascabayar XL
828 Ceria Sampoerna Telecom
831 Solusi Natrindo Telepon Seluler
838 Axis Natrindo Telepon Seluler
852 Kartu As Telkomsel
853 Kartu As Fress Telkomsel
855 Matrix auto Indosat
856 IM3 Indosat
857 IM3 Indosat
858 Mentari Indosat
859 XL Prabayar XL
877 XL Prabayar XL
878 XL Prabayar XL
879 XL Prabayar XL
881 Smart Smart Telecom
888 Fren Mobile‐8
889 Mobi Mobile‐8
898 3 Hutchison Charoen Pokphand Telecom
899 3 Hutchison Charoen Pokphand Telecom

Sedangkan penyelenggara telekomunikasi hingga 2009 yaitu:sumber : data statistik tahunan Ditjen Postel

Substansi RPM Konten Multimedia

(Cartoon by Peter Steiner. The New Yorker, July 5, 1993
issue [Vol.69 no. 20] page 61)

Dalam beberapa waktu belakangan ini, Kemenkominfo menjadi sorotan masyarakat atas tiap-tiap regulasi yang dikeluarkannya. Berbagai kontroversi mewarnai setiap upaya pengesahan regulasi, sebut saha UU ITE, RPP Teknis Penyadapan, dan yang bergulir saat ini adalah RPM Konten Multimedia. Munculnya kontroversi ini bisa dinilai sebagai hal positif baik bagi Kemenkominfo sendiri maupun masyarakat.

Bagaimana substansi RPM Konten Multimedia yang saat ini sedang dipermasalahkan?

Tujuan Kemenkominfo merumuskan dan (akan) menetapkan RPM ini adalah untuk melindungi kepentingan umum (masyarakat) dari penyalahgunaan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang mengganggu ketertiban umum dan memberi pedoman bagi penyelenggara jasa internet tentang pengelolaan konten multimedia.

Masyarakat Indonesia saat ini semakin mampu menggunakan internet, terlibat secara aktif dalam jejaring sosial, dan telah mampu mengembangkan serta mengelola web pribadi atau pun blog. Akan tetapi tidak sedikit masyarakat yang tidak ber-internet sehat dengan mempublikasikan informasi yang merugikan seseorang atau sekelompok orang, mengandung unsur kriminal, bertentangan dengan kesusilaan, atau dengan kata lain mengganggu ketertiban umum.

Jumlah konten semacam ini sangat banyak di internet dan sangat sulit untuk mengontrol maupun memfilter satu per satu. Adanya kasus pencemaran nama baik, pelecehan, penjualan anak, hingga penculikan adalah sebagian kecil konten internet yang dinilai mengganggu ketertiban umum. Itu pun mencuat setelah ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan.

Penyelenggara internet pun tidak memiliki kekuasaan penuh untuk mengontrol setiap konten yang muncul meskipun dalam “Term of Aggrement” disebutkan larangan ini dan itu.

RPM yang berisi 6 bab ini pada dasarnya adalah mengajak setiap elemen masyarakat untuk peduli pada setiap kemunculan konten-konten yang dinilai mengganggu ketertiban umum. RPM pun memberi pedoman pada penyelenggara jasa internet bagaimana mengelola konten informasi yang dinilai mengganggu tersebut sehingga yang dibidik adalah konten yang telah melalui prosedur bukan link konten keseluruhan.

Konten apa saja yang dilarang menurut RPM tersebut? Yaitu konten yang mengandung:

  1. unsur pornografi atau kesusilaan (pasal 3)
  2. unsur perjudian (pasal 4)
  3. muatan tindakan merendahkan keadaan dan kemampuan fisik, intelektual, pelayanan, kecakapan, aspek fisik maupun non fisik pihak lain (pasal 5)
  4. berita bohong dan menyesatkan sehingga merugikan kepentingan konsumen (pasal 6 ayat 1)
  5. penghinaan SARA, menimbulkan kebencian dan permusuhan (pasal 6 ayat 2)
  6. pemerasan dan pengancaman (pasal 6 ayat 3)
  7. ancaman kekerasan (pasal 6 ayat 4)
  8. muatan informasi privasi seseorang (riwayat hidup, riwayat medis, keuangan, wasiat, aset) dan HAKI (pasal 7)

Dalam RPM tersebut, penyelenggara jasa multimedia dilarang untuk:
– mendistribusikan
– mentransmisikan
– membuat konten tersebut dapat diakses

Bagaiman jika terdapat konten yang mengandung unsur pelarangan tersebut, apa yang harus dilakukan penyelenggara jasa multimedia?

Maka penyelenggara berperan untuk:

  1. membuat aturan penggunaan layanan
  2. memeriksa kepatuhan pengguna layanan
  3. melakukan filtering
  4. meyediakan layanan pelaporan melalui email, pos, dan sarana telekomunikasi/komunikasi lainnya.
  5. menganalisis konten yang dilaporkan pengakses lain
  6. menindaklanjuti hasil analisis laporan tersebut.
  7. penyelenggara tidak diperbolehkan untuk tidak bertanggung jawab atas konten yang dipublikasikan pengguna.
  8. menyediakan Sistem Elektronik yang memiliki kemampuan filtering dan blocking.

Untuk menjalankan fungsinya, penyelenggara dibantu oleh Tim Konten Multimedia yang dibentuk dari unsur pemerintah (50%) dan unsur masyarakat (50%) dengan masa kerja 1 tahun (pasal 22).

Dengan RPM Konten Multimedia, tantangan apa yang akan dihadapi?

Dalam pelaksanaannya kelak, penyelenggara jasa multimedia mungkin akan semakin terbebani fungsi dan tugasnya. Selain menyediakan layanan konten multimedia yang handal mereka juga harus memonitoring aktivis penggunanya secara berkala. Monitoring konten multimedia sendiri bukanlah bagian dari unsur penyadapan. Hal ini karena konten multimedia adalah unsusr public information yang dapat diakses, dibaca, dilihat, atau didengarkan oleh siapa pun. Sama sekali bukan unsur rahasia. Adanya aktivitas tambahan ini akan menambah beban kerja penyelenggara kecuali Sistem Elektronik yang digunakan benar-benar qualified yang berfungsi automatically sehingga penyelanggara tinggal memverifikasi dan menganalisis.

Nah, adakah sistem elektronik yang berkemampuan seperti itu. Hadirnya RPM Konten Multimedia sebaiknya dipandang sebagai upaya pemerintah mengajak masyarakat ber-internet sehat. Bukan untuk membatasi gerak pengguna layanan informasi.

Dengan hadirnya RPM ini diharapkan masyarakat semakin terpacu mengakses layanan informasi multimedia di internet karena adanya rasa aman dan nyaman dalam berselancar.

Kemenkominfo dan RPM Konten Multimedia

Dalam beberapa waktu belakangan ini, Kemenkominfo menjadi sorotan masyarakat atas tiap-tiap regulasi yang dikeluarkannya. Berbagai kontroversi mewarnai setiap upaya pengesahan regulasi, sebut saha UU ITE, RPP Teknis Penyadapan, dan yang bergulir saat ini adalah RPM Konten Multimedia. Munculnya kontroversi ini bisa dinilai sebagai hal positif baik bagi Kemenkominfo sendiri maupun masyarakat.

Pertama, Kemenkominfo cukup terbuka dalam mempublikasi rancangan regulasi pada masyarakat dibanding kementerian lainnya meskipun dapat dikatakan lebih sering terlambat dan tidak memberikan informasi menyeluruh tentang regulasi tersebut. Terlambat karena informasi rancangan regulasi muncul menjelang akan disahkan sehingga masyarakat tidak punya banyak waktu untuk mengkaji padahal penyusunan telah rampung setahun bahkan dua tahun sebelumnya.

Kemenkominfo sendiri tidak membuka link khusus bagi masyarakat untuk mengunduh isi dari RPM Konten Mulmed. Informasi yang tidak sempurna hanya akan membuat masyarakat terbawa arus dengan lekas-lekas menolak tanpa berupaya memahami maksud dan tujuan disusunnya regulasi tersebut. Justru masyarakat tahu setelah kisruh merebak di media massa. Kurangnya sosialisasi yang sistematis terencana dan sekedar seremonial tampaknya perlu segera dihindari agar masyarakat paham makna kehadiran regulasi tersebut.

Kedua, masyarakat Indonesia telah bergerak pada era 2.0. Adalah hal yang biasa bagi masyarakat kini untuk mengkritik pemerintah. Bukankah suatu hal yang dinamis dan menunjukkan kemajuan akan kemampuan akses informasi yang semakin baik dan keterlibatan  masyarakat dalam pemerintah. The country is belong to citizen. Maka apa pu yang dirumuskan, ditetapkan, diputuskan pemerintah perlu diketahui masyarakat. Dengan semakin terlibatnya masyarakat dalam arus informasi, bisa dikatakan masyarakat lebih cepat dan lebih pintar dari pemerintah dalam menggunakan dan memanfaatkan media online. Sehingga sudah sepantasnya, pemerintah peduli dan sadar bahwa masyarakat obyek sekaligus subyek regulasi maka rangkullah dengan cara-cara yang baik agar kita bisa saling memahami.

Tentang substansi, maksud dan tujuan dikeluarkannya RPM Konten multimedia akan diulas pada tulisannya selanjutnya.

KORUPSI DAN ATURAN TEKNIS PENYADAPAN

Mungkin peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia yang paling marak, meriah, dan gegap gempita hanyalah di Indonesia. Negara lain bisa jadi menanggapi hari peringatan ini dengan biasa-biasa saja. Apa yang terjadi selama ini, tentang kemunduran penegakan tindak pidana korupsi menjadi pemicu gerakan masyarakat. Masyarakat perlu mengingatkan kembali secara terbuka, terang-terangan, bagi pemimpin negara dan penegak hukum bahwa komitmen penegakan anti korupsi perlu dan harus dipertahankan. Terlebih adanya indikasi upaya-upaya pelemahan wewenang KPK, Komisi Pemberantas Korupsi, dari berbagai pihak. Kriminalisasi dua petinggi KPK adalah salah satunya. Dan baru-baru ini yang menjadi polemik adanya aturan teknis penyadapan yang sedang digodok oleh Departemen Komunikasi dan Informatika. Rancanangan Peraturan Pemerintah (RPP) ini dianggap akan mengkebiri KPK dan menghambat penumpasan korupsi.

Pernyataan Menkominfo, Tifatul Sembiring, untuk mengeluarkan aturan teknis penyadapan di bawah naungan Departemen Komunikasi dan Informatika menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Sebagian besar pihak yang menentang mengganggap aturan teknis yang nantinya berbentuk Peraturan Pemerintah akan melemahkan wewenang KPK. Atau dengan kata lain menghambat penegakan tindak pidana korupsi di Indonesia. Sebenarnya, aturan tentang penyadapan telah diatur dalam UU No 32/1999 tentang Telekomunikasi dan UU No 11/2008 tentang ITE, bahwa penyadapan merupakan tindakan yang dilarang kecuali diatur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 32/1999 tentang Telekomunikasi, pasal 41 disebutkan “Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Sedangkan dalam pasal 31 UU No. 11/2008 tentang ITE, disebutkan pula bahwa penyadapan dengan penyengajaan adalah tindakan yang dilarang kecuali penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Dan dalam UU tersebut dinyatakan pula bahwa ketentuan tata cara intersepsi akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Berdasarkan amanat UU ITE, maka PP tentang ketentuan tata cara penyadapan perlu dikeluarkan sebagai turunan Undang Undang. Sebelumnya, telah dikeluarkan Peraturan Menkominfo, PM No 11/Per/M.Kominfo/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Dimana penyadapan informasi diperbolehkan berdasarkan azas dan tujuan yang telah diatur seperti, perlindungan konsumen, kepastian dan penegakan hukum, dan keamanan informasi. Serta ditujukan bagi penyidikan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana.

Dalam pelaksanaan PerMen tersebut, dibentuk suatu tim pengawas yang terdiri dari unsur direktorat jenderal, penegak hukum, dan penyelenggara telekomunikasi. Wewenang tim pengawas terbatas pada penelitian legalitas surat perintah tugas aparat penegak hukum. Namun, dalam implementasinya peraturan ini tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Terbukti tidak adanya tim pengawas selama ini yang menilai legalitas dan tidak adanya aparat yan mengajukan ijin penyadapan. Baik KPK maupun Polri bebas melakukan penyadapan tanpa perlu meminta ijin terlebih dahulu. Maka tak heran jika kemudian KPK merasa bahwa wewenangnya akan dikebiri jika RPP ini diberlakukan. Sedangkan dalam RPP, penyadapan dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, atau penegak hukum yang diatur dalam Undang Undang, setelah mendapat persetujuan dari pengadilan  (RPP Aturan Teknis Penydapan, Bab II, Pasal 2).

Teknis pelaksanaan penyadapan akan melalui Pusat Intersepsi Nasional (PIN) yang bertugas menetapkan standar teknis penyadapan dan tugas lain yang menyertainya (Bab IV, Pasal 10). PIN sendiri nantinya bertanggung jawab pada Dewan Pengawas Intersepsi Nasional yang keanggotannya diangkat dan bertanggung jawab pada presiden. Dengan demikian, terdapat perbedaan struktur wewenang pengawas penyadapan antara RPP dan aturan yang telah ada saat ini. Lebih panjang dan memiliki keterkaitan dengan pemerintah secara langsung. Maka, tidak heran jika KPK keberatan dengan hadirnya RPP ini karena proses penyadapan akan menjadi lebih panjang, lebih banyak pintu yang harus dilalui. Sedangkan KPK menginginkan tindakan cepat tanggap untuk mengantisipasi hilangnya bukti-bukti.

Aturan tentang penyadapan perlu dikeluarkan. Wewenang KPK pun perlu ditegakkan. Selama ini sentimen masyarakat dan dunia terhadap kinerja KPK sudah cukup baik dalam memberantas korupsi. Dari skala 1 sampai 10, Indonesia baru memperoleh nilai 2,8. Dengan kata lain, posisi kita masih selevel dengan negara-negara korup lainnya. Untuk menaikkan nilai itu, itikad dan komitmen baik harus dimiliki oleh berbagai pihak terutama pemerintah dan penegak hukumnya. Dengan prestasi yang diraih selama ini, perlu rasanya memberi keleluasaan bagi KPK. Keleluasaan yang teratur. Bisa dengan permintaan ijin diajukan setelah penyadapan dengan latarbelakang yang dapat dipertanggungjawabkan. Bisa pula dengan perampingan struktur tim pengawasas. Pertemuan antara perumus kebijakan dan pelaksana perlu dilakukan agar tercapai kesesuaian yang mengikat satu sama lain dalam masalah ini. Jangan sampai aturan menjadikan langkah penegakan tindak pidana korupsi menjadi terhalangi.

Aturan Penyadapan Informasi Dalam UU Telekomunikasi dan ITE

Tulisan ini akan cukup panjang jika dibuat dalam satu tulisan, jadi insyallah akan dibuat dalam dua tulisan.

Pernyataan Menkominfo, Tifatul Sembiring, untuk mengeluarkan aturan teknis penyadapan di bawah naungan Departemen Komunikasi dan Informatika menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Sebagian besar pihak yang menentang mengganggap aturan teknis yang nantinya berbentuk Peraturan Pemerintah akan melemahkan wewenang KPK. Atau dengan kata lain menghambat penegakan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sebenarnya, aturan tentang penyadapan telah diatur dalam UU No 32/1999 tentang Telekomunikasi dan UU No 11/2008 tentang ITE, bahwa penyadapan merupakan tindakan yang dilarang kecuali diatur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan.

Dalam UU No. 32/1999 tentang Telekomunikasi, pasal 41 dan 42 disebutkan

Pasal 41 :
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 42:
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.

(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Sedangkan dalam pasal 31 UU No. 11/2008 tentang ITE, disebutkan:
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain.  (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya juga, telah dikeluarkan Peraturan Menkominfo, PM No 11/Per/M.Kominfo/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Dimana penyadapan informasi diperbolehkan berdasarkan azas dan tujuan yang telah diatur seperti, perlindungan konsumen, kepastian dan penegakan hukum, dan keamanan informasi. Serta ditujukan bagi penyidikan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana.

Dalam pelaksanaannya, dibentuk suatu tim pengawas yang terdiri dari unsur direktorat jenderal, penegak hukum, dan penyelenggara telekomunikasi. Wewenang tim pengawas terbatas pada penelitian legalitas surat perintah tugas aparat penegak hukum. Namun, dalam implementasinya peraturan ini tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Terbukti tidak adanya tim pengawas selama ini yang menilai legalitas dan tidak adanya aparat yan mengajukan ijin penyadapan. Baik KPK maupun Polri bebas melakukan penyadapan tanpa perlu meminta ijin terlebih dahulu. Maka tak heran jika kemudian KPK merasa bahwa wewenangnya akan dikebiri jika RPP ini diberlakukan.

Jika merujuk pada Undang-Undang maka aturan tentang teknis penyadapan perlu diberlakukan agar penegakan tindak pidana korupsi terlaksana sebagaimana mestinya. Tapi perlu dilihat dahulu bagaimana isi dari RPP tersebut agar proses penyadapan berlangsung tanpa birokrasi yang berbelit-belit.

Program 100 Hari: Desa Komputer Seperti Apa

ICT Development Index (IDI) yang direkam oleh International Telecommunication Union (ITU) mencatat bahwa kepemilikan komputer oleh rumah tangga di Indonesia pada tahun 2007 adalah 8,1. Meningkat jauh dibanding tahun 2002 yang hanya pada poin 0,3 saja. Meskipun belum mampu menyamai Malaysia dan Thailand, peningkatan yang luar biasa pada kurun waktu 5 tahun tersebut menunjukkan tingkat ketertarikan masyarakat pada komputer sangat tinggi. Kondisi ini dapat dipicu oleh pertumbuhan pasar yang stabil, kebutuhan, dan tuntutan menghadapi era digital. Akan tetapi, pertumbuhan kepemilikan komputer hanya terjadi di perkotaan, bukan di rural area atau pedesaan.

Kepemilikan komputer di pedesaan masih tergolong sangat rendah. Hal ini disebabkan tingkat kebutuhan dan keterampilan operasi terhadap komputer masih rendah sehingga masyarakat belum dapat merasakan manfaatnya. Itu baru computer yang stand alone, belum yang terkoneksi dengan jaringan internet.

Berdasarkan kajian yang dilakukan PT. Telkom Divre IV Jateng-DIY, penggunaan internet di wilayah Jateng-DIY masih didominasi perkotaan (85%). Pemicu terhadap kurangnya akses informasi di pedesaan adalah merasa kurang membutuhkan (40%), tidak memiliki komputer (33%), tidak tertarik (25%), kurang pengetahuan pengoperasian (25%), dan masalah biaya (16%).

Kondisi yang terjadi saat ini dapat dikatakan sebagai kesenjangan digital. Adanya jurang yang sangat lebar dalam mengakses informasi antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Jurang inilah yang akan dipersempit hingga tidak ada lagi gap dalam kemudahan dan kepemilikan media digital komunikasi dan informatika.

Jika mengacu pada World Summit Information Society (WSIS) di Geneva, adalah suatu kewajiban bagi setiap negara anggota termasuk Indonesia untuk menghubungkan pedesaan dengan ICT dan membangun Community Access Points di pedesaan. Hal ini tidak lain ditujukan bagi terwujudnya masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society). Maka adanya program 100 desa komputer pantas disambut hangat bagi terbukanya jalan informasi untuk masyarakat pedesaan. Namun desa komputer seperti apa yang akan dibangun?

Menkominfo perlu menyusun rancangan rencana strategis yang akan menjadi prioritas pembangunan kapasitas kompetensi masyarakat dengan menggunakan komputer. Prioritas rencana strategis tersebut dapat berupa: 1. Membuka jalan bagi masyarakat dalam mengakses jaringan dan layanan digital (ICT) 2. Membangun konten informasi yang sesuai dengan karakter masyarakat lokal. Hal ini dapat berkaitan dengan bentuk implementasi desa komputer yang sesuai bagi tiap desa. 3. Meningkatkan produktivitas usaha ekonomi masyarakat lokal dengan pemanfaatan komputer (ICT) karena ketersediaan informasi membuka peluang dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari rencana strategis tersebut, desain desa komputer yang dimaksud dapat terwujud. Apakah desa dengan seperangkat unit komputer stand alone ataukah desa dengan seperangkat unit komputer berserta koneksi jaringan internet?