(Cartoon by Peter Steiner. The New Yorker, July 5, 1993
issue [Vol.69 no. 20] page 61)
Dalam beberapa waktu belakangan ini, Kemenkominfo menjadi sorotan masyarakat atas tiap-tiap regulasi yang dikeluarkannya. Berbagai kontroversi mewarnai setiap upaya pengesahan regulasi, sebut saha UU ITE, RPP Teknis Penyadapan, dan yang bergulir saat ini adalah RPM Konten Multimedia. Munculnya kontroversi ini bisa dinilai sebagai hal positif baik bagi Kemenkominfo sendiri maupun masyarakat.
Bagaimana substansi RPM Konten Multimedia yang saat ini sedang dipermasalahkan?
Tujuan Kemenkominfo merumuskan dan (akan) menetapkan RPM ini adalah untuk melindungi kepentingan umum (masyarakat) dari penyalahgunaan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang mengganggu ketertiban umum dan memberi pedoman bagi penyelenggara jasa internet tentang pengelolaan konten multimedia.
Masyarakat Indonesia saat ini semakin mampu menggunakan internet, terlibat secara aktif dalam jejaring sosial, dan telah mampu mengembangkan serta mengelola web pribadi atau pun blog. Akan tetapi tidak sedikit masyarakat yang tidak ber-internet sehat dengan mempublikasikan informasi yang merugikan seseorang atau sekelompok orang, mengandung unsur kriminal, bertentangan dengan kesusilaan, atau dengan kata lain mengganggu ketertiban umum.
Jumlah konten semacam ini sangat banyak di internet dan sangat sulit untuk mengontrol maupun memfilter satu per satu. Adanya kasus pencemaran nama baik, pelecehan, penjualan anak, hingga penculikan adalah sebagian kecil konten internet yang dinilai mengganggu ketertiban umum. Itu pun mencuat setelah ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan.
Penyelenggara internet pun tidak memiliki kekuasaan penuh untuk mengontrol setiap konten yang muncul meskipun dalam “Term of Aggrement” disebutkan larangan ini dan itu.
RPM yang berisi 6 bab ini pada dasarnya adalah mengajak setiap elemen masyarakat untuk peduli pada setiap kemunculan konten-konten yang dinilai mengganggu ketertiban umum. RPM pun memberi pedoman pada penyelenggara jasa internet bagaimana mengelola konten informasi yang dinilai mengganggu tersebut sehingga yang dibidik adalah konten yang telah melalui prosedur bukan link konten keseluruhan.
Konten apa saja yang dilarang menurut RPM tersebut? Yaitu konten yang mengandung:
- unsur pornografi atau kesusilaan (pasal 3)
- unsur perjudian (pasal 4)
- muatan tindakan merendahkan keadaan dan kemampuan fisik, intelektual, pelayanan, kecakapan, aspek fisik maupun non fisik pihak lain (pasal 5)
- berita bohong dan menyesatkan sehingga merugikan kepentingan konsumen (pasal 6 ayat 1)
- penghinaan SARA, menimbulkan kebencian dan permusuhan (pasal 6 ayat 2)
- pemerasan dan pengancaman (pasal 6 ayat 3)
- ancaman kekerasan (pasal 6 ayat 4)
- muatan informasi privasi seseorang (riwayat hidup, riwayat medis, keuangan, wasiat, aset) dan HAKI (pasal 7)
Dalam RPM tersebut, penyelenggara jasa multimedia dilarang untuk:
– mendistribusikan
– mentransmisikan
– membuat konten tersebut dapat diakses
Bagaiman jika terdapat konten yang mengandung unsur pelarangan tersebut, apa yang harus dilakukan penyelenggara jasa multimedia?
Maka penyelenggara berperan untuk:
- membuat aturan penggunaan layanan
- memeriksa kepatuhan pengguna layanan
- melakukan filtering
- meyediakan layanan pelaporan melalui email, pos, dan sarana telekomunikasi/komunikasi lainnya.
- menganalisis konten yang dilaporkan pengakses lain
- menindaklanjuti hasil analisis laporan tersebut.
- penyelenggara tidak diperbolehkan untuk tidak bertanggung jawab atas konten yang dipublikasikan pengguna.
- menyediakan Sistem Elektronik yang memiliki kemampuan filtering dan blocking.
Untuk menjalankan fungsinya, penyelenggara dibantu oleh Tim Konten Multimedia yang dibentuk dari unsur pemerintah (50%) dan unsur masyarakat (50%) dengan masa kerja 1 tahun (pasal 22).
Dengan RPM Konten Multimedia, tantangan apa yang akan dihadapi?
Dalam pelaksanaannya kelak, penyelenggara jasa multimedia mungkin akan semakin terbebani fungsi dan tugasnya. Selain menyediakan layanan konten multimedia yang handal mereka juga harus memonitoring aktivis penggunanya secara berkala. Monitoring konten multimedia sendiri bukanlah bagian dari unsur penyadapan. Hal ini karena konten multimedia adalah unsusr public information yang dapat diakses, dibaca, dilihat, atau didengarkan oleh siapa pun. Sama sekali bukan unsur rahasia. Adanya aktivitas tambahan ini akan menambah beban kerja penyelenggara kecuali Sistem Elektronik yang digunakan benar-benar qualified yang berfungsi automatically sehingga penyelanggara tinggal memverifikasi dan menganalisis.
Nah, adakah sistem elektronik yang berkemampuan seperti itu. Hadirnya RPM Konten Multimedia sebaiknya dipandang sebagai upaya pemerintah mengajak masyarakat ber-internet sehat. Bukan untuk membatasi gerak pengguna layanan informasi.
Dengan hadirnya RPM ini diharapkan masyarakat semakin terpacu mengakses layanan informasi multimedia di internet karena adanya rasa aman dan nyaman dalam berselancar.