2009, TAHUN MILIK PUBLIK

Patung dewi keadilan yang selama ini kita lihat tak lagi menggenggam pedang di tangan kanannya. Matanya masih tertutup dan tangan kirinya masih memegang neraca keadilan. Menimbang keadilan tidak dengan mata nyatanya namun dengan mata hatinya yang menembus hingga sudut-sudut kegelapan. Dan pedangnya, mungkin telah ia sampirkan karena tak lagi mampu menebas rimba-rimba ketidakadilan yang semakin rimbun dan gelap. Dewi keadilan telah bermetamorfosa, mengikuti jaman yang terus bergerak dinamis. Dewi keadilan telah menggenggam handphone cerdas di tangan kanannya. Ya, sebuah handphone dan bukan pedang.

Merefleksi fenomena sosial politik di tahun 2009, sungguh mengejutkan dan mengasyikan. People power tak hanya terderngar gaungnya tapi juga mampu mengendalikan kekuasaan dan keadilan di negeri ini. Tidak, tidak hanya di negeri yang sedang kisruh ini tapi agaknya seluruh dunia. Akan tetapi Indonesia menjadi fenomena sosial politik yang mengguncang dunia. Pemilu 2009 baik pemilihan legislatif dan pemilihan presiden bukanlah peristiwa yang menghebohkan. Terlalu biasa dengan permasalahan dan penyelesaian yang biasa pula. Setiap lima tahun sekali selalu terjadi kan. Dan kita tak pernah mau dan banyak belajar untuk memperbaiki masalah-masalah yang tampak nyata itu. Pengaruh publik dalam penuntasan masalah hokum di Indonesia mungkin menjadi kasus fenomenal sepanjang tahun 2009 ini. Reaksi publik yang mengejutkan dan akan terkenang sepanjang sejarah negeri.

Mari kita telusuri jejak-jejak pengaruh publik dalam ranah hukum negeri ini. Bermula dari kasus Prita yang melayangkan keluhannya atas pelayanan tidak prima dan tidak kooperatif dari RS. Omni International ke sebuah milis. Tak disangka, keluhan yang bermula sebagai curahan hati pasien sekaligus konsumen itu berbalas tuntutan tindak pidana dan perdata ata dasar pencemaran nama baik. Pasal 27 UU ITE menjerat Prita dengan hukuman penjara dan  ganti rugi yang tak sedikt jumlahnya. Awalnya persidang berjalan tidak adil dan memihak karena tak satu pun media menyorot masalah ini. Namun, seketika berubah saat jutaan facebooker memberikan dukungan, menuntut permasalahan ini diselesaikan dengan jelas dan adil. Keadaan berbalik, pemerintah yang saat itu tak tahu menahu segera mengambil tindakan penyelesaian hukum. Kasus ini tidak bergulir singkat, Prita masih dikenai tuntutan ganti rugi Rp. 204 juta. Lagi-lagi dunia maya menghimpun kekuatan mengumpulkan koin hingga menembus angka 1 miliar. Tangan Tuhan telah bermain melalui tangan-tangan publik.

Roda masih bergulir, kali ini menimpa petinggi KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Keduanya dinilai menyelewengkan wewenang KPK dan menghadapi konflik antai lembaga dengan Polri. Merasa ada yang tidak beres dengan masalah ini serta sikap pemerintah yang tidak tegas, meresahkan khalayak ramai. Publik merasa keganjilan akan penahan Bibit-Chandra hingga bersuaralah di dunia maya mencari dukungan sebanyak-banyaknya tidak hanya bagi kedua petinggi KPK tersebut tetapi lebih pada penegakan tindak pidana korupsi di negeri ini. Adalah Usman, seorang dosen Universita Muhammadiyah Bengkulu, yang membuat akun dukungan bagi KPK dan penegakan tindak pidana korupsi agar masyarakat mengetahui dan mendukung. Sungguh luar biasa, tindakan kecilnya berdampak besar bagi penyelesaian masalah ini yang berlarut-larut. Satu klik-nya mampu menggetarkan istana negara.

Itu barulah dua kasus besar yang mengejutkan dan mampu menggoyang sekaligus menekan pemerintah untuk mengambil tindakan. Masih banyak dukungan-dukungan yang dilayangkan di dunia maya. Tidak hanya di Facebook, bahkan twitter, blog, myspace, milis, dan forum-forum komunitas intens dalam menggalang dukungan. Berdasarkan statistik Facebook, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan jumlah pengakses terbesar dan tingkat pertumbuhan tertinggi. Kedudukan Indonesia setara dengan negara-negara Eropa (Amerika, UK, Turki, dan Kanada) bahkan melampui negara Asia manapun dan Australia. Jumlah pemilik akun Facebook di Indonesia saat ini mencapai 11.759.980 user (www.checkfacebook.com). Apa yang dicetuskan Tan Malaka tentang Massa Actie 2.0 tampaknya telah terbukti. Bahwa aksi massa dari orang banyak akan mampu memenuhi kehendak ekonmi politik. Kekuatan massa akan terhimpun, terorganisir dengan rapi, dan berjalan tanpa seorang pun mampu mencegahnya bahkan pemilik kekuasaan sekalipun. Kehadiran era digital mampu mengubah tatanan sosial masyarakat dalam mengorganisasi kekuatan massa secara rapi dan terstruktur tanpa perlu bertatap muka dengan jumlah kekuatan yang jauh lebih besar. Akan tetapi, penggalangan di dunia maya tak akan berarti tanpa aksi-aksi di  dunia nyata. Pewacanaan melalui media massa konvensional, baik koran, televisi, dan radio penting artinya agar gerakan ini menjadi gerakan nyata dan massif.

Publik memainkan peranan penting dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Sepanjang tahun 2009, teknologi telah membentuk masyarakat menjadi kritis dan berperan dalam pemerintah. Tak sekedar menjadi penonton dan melakukan pembiaran bagi pemerintah dalam bertindak dan berkeputusan. Meski komputer masih barang mahal dan langka di negeri ini tapi tidak untuk telepon seluler. Dengan 200 ribu saja masyarakat sudah mampu ber-social networking yang berarti turut serta dalam lingkaran kekuatan publik yang tak hanya mampu merubah iklim berdemokrasi tapi  juga sosial politik. Maka suara rakyat adalah suara Tuhan saat ini bisa jadi suatu kebenaran dan kenyataan. Dan Dewi Keadilan pun akan semakin rajin meng-update informasi sehingga lebih tajam melihat dan menimbang yang hak dan yang bathil.

Leave a comment